PropellerAds

20 May 2018

Dituntut Hukuman Mati, Aman Abdurrahman Berani Mati Syahid?




Aman Abdurrahman alias Oman Rochman dituntut dengan hukuman mati untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya mengotaki sejumlah serangan teroris di Tanah Air.
Pembacaan berkas tuntutan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Jumat, 18 Mei 2018, tersebut mendapat perhatian luas dari dalam dan luar negeri. Pers membludak di pengadilan bahkan persidangan disiarkan secara langsung di televisi.
“Dengan memperhatikan ketentuan dalam undang-undang, kami meminta Majelis Hakim menjatuhkan pidana mati," kata Jaksa Anita Dewayani membacakan berkas tuntutan di Ruang Oemar Seno Adjie, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jalan Ampera Raya.
Aman didakwa mengotaki lima serangan teroris, yakni bom Sarinah dan Kampung Melayu di Jakarta, bom gereja di Samarinda, penyerangan Kantor Polda Sumatera Utara, serta penyerangan terhadap polisi di Bima, Nusa Tenggara Barat.
Pembacaan tuntutan ayah empat anak itu didahului kucuran darah dan hilangnya nyawa akibat serangkaian serangan teroris yang mayoritas dilakukan oleh anggota Jamaah Anshorut Daulah (JAD), kelompok jihad yang dipimpin Aman Abdurrahman.
Lima polisi tewas mengenaskan di tangan narapidana teroris di Markas Komando Brimob Polri Kelapa Dua, Kota Depok, pada Selasa, 8 Mei 2018. Satu napi teroris ditembak mati karena merebut senjata polisi di Rumah Tahanan Salemba, Kompleks Mako Brimob, tersebut.
Pada Kamis, 10 Mei 2018, satu lagi polisi gugur karena ditusuk teroris di dekat Mako Brimob. Pelakunya tewas di tempat ditembus timah panas.
Tiga hari setelah penusukan anggota Polri di dekat Mako Brimob Kelapa Dua, pada Minggu pagi, tiga gereja di Surabaya diledakkan dengan bom bunuh diri. Pelakunya sekeluarga.
Mereka adalah suami-istri Dita Uprianto, 48 tahun, dan Puji Kuswati (43) serta empat anak mereka yang mayoritas masih anak-anak, yakni PR (9), FS (12), FH (16), dan Yusuf Fadil (18).
Dita Uprianto diketahui sebagai Ketua JAD Surabaya.
Rekannya, Anton Febrianto (47), mati akibat bom yang sedang dirakitnya pada hari yang sama di Rusunawa Wonocolo, Sidoarjo, tak jauh dari Surabaya.
Istri Anton, Puspita Sari (47), bersama anak pertama mereka, LAR (17) ikut tewas. Tiga anak lainnya selamat dengan luka-luka.
Polisi menduga Anton sekeluarga menyiapkan serangan bom bunuh diri menyusul aksi nekat Dita. Namun, bom rakitan keburu meledak. Anton tewas dengan sakelar di tangannya.
Esok harinya, Senin pagi, 14 Mei 2018, sekitar pukul 08.50 WIB, giliran Kantor Poltabes Surabaya diserang bom bunuh diri, Pelakunya lagi-lagi sekeluarga.
Empat orang pelaku tewas, terdiri ayah-ibu dan dua anak laki-laki. Mereka meledakkan diri menggunakan sepeda motor Honda Supra dan Honda Beat.
Anak bungsu, perempuan berusia 8 tahun, selamat. Namun, empat polisi dan enam masyarat di sekitar lokasi menderita luka.
Sebanyak 25 korban tewas di Surabaya dan Sidoarjo dalam tiga peristiwa tadi, yang terdiri 13 pelaku dan 12 korban di tiga gereja.
Serangan teroris kembali terjadi pada Rabu pagi, 16 Mei 2018, di Kantor Polda Riau, Kota Pekanbaru. Mereka dari kelompok Negara Islam Indonesia (NII) yang sudah berbaiat kepada Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) Suriah.
Empat orang tewas ditembak setelah membabi buta menyerang menggunakan pedang samurai, yakni Mursalim alias Ical alias Pak Ngah (42), Suwardi (28), Adi Sufiyan (26), serta Daud.
Ipda Auzar, yang mencoba menghadang mobil Toyota Avanza putih yang ditumpangi teroris, gugur. Beberapa polisi terluka kena bacokan dan dua wartawan ikut terluka.
Sejak serangan di Mako Brimob sampai Kantor Polda Riau total 38 orang tewas dan 60-an luka-luka. Jumlah ini belum termasuk penembakan dalam operasi penangkapan teroris seantero Indonesia.
Menurut pengamat terorisme, Al Chaidar, tuntutan hukum mati untuk gembong teroris Aman Abdurrahman sudah tepat.
“Itu (hukuman mati) hukuman untuk violent intellectual dalam setiap gerakan teroris di manapun di dunia ini,” ujar Al Chaidar kepada Tempo pada Jumat, 18 Mei 2018.
Aman Abdurrahman dikenal sebagai ideolog ISIS yang menyebarkan pemahaman tauhid dan jihad via buku-buku di internet dan tausiah (pernyataan atau khotbah).
Banyak orang yang mati demi menjalankan ajaran dan perintah Aman. Ganjaran surga karena mati syahid di jalan Tuhan dengan melawan pemerintah kafir membuat Dina sekeluarga melancarkan serangan bom bunuh diri.
Maka muncul pertanyaan, mengapa bukan motivator dan otak gerakan teroris seperti Aman Abdurrahman yang lebih dahulu mati syahid. Mengapa harus keluarga Dina?
Al Chadar berpendapat bahwa tuntutan hukuman mati merupakan ujian bagi Aman Abdurrahman dalam memegang komitmen siap mati demi keyakinannya. “Hukuman mati untuk menguji sejauh mana seorang pemimpin jihad konsisten dengan fatwanya sendiri (yang memerintahkan mati demi jihad).”
Aman Abdurrahman alias Oman Rochman berperan sentral dalam jaringan teror. Dalam Majalah TEMPO, edisi 14-20 Mei 2018, seorang petinggi Detasemen Khusus 88 menyebutkan, Aman adalah pemimpin besar di mata mantan muridnya, baik yang mendapat pendidikan di luar maupun di dalam penjara.
Termasuk, kata dia, di mata Bachrumsyah dan Bahrunnaim Anggih Tamtomo, dua pentolan kelompok ISIS Indonesia yang kini berada di Suriah. Bachrumsyah dan Bahrun disebut-sebut sebagai sponsor kasus teror bom Thamrin.
"Kalau Aman bilang tidak suka sama seseorang, ini bisa diartikan anak buahnya sebagai perintah membunuh orang itu," kata petinggi Densus 88 itu.
Beberapa kali mendapat pembinaan, Aman justru makin menancapkan pengaruhnya dalam peta jaringan terorisme Indonesia. Pada Februari 2015, misalnya, di balik tembok penjara, Aman menginstruksikan semua kelompok pendukung ISIS Indonesia melebur menjadi satu dalam kelompok JAD Indonesia.
Pada awal Januari 2014, Aman berbaiat kepada ISIS dan memerintahkan pengiriman pengikutnya ke sana. Pada Juli 2014, pemimpin Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) Abu Bakar Ba’asyir, yang saat itu satu penjara dengan Aman, berbaiat kepada ISIS.
Foto Ba’asyir bersama 13 penghuni penjara tengah dibaiat menyebar ke dunia maya. Ba’asyir bergabung dengan ISIS karena pengaruh Aman.
Dari dalam penjara Kembang Kuning, Nusakambangan, Jawa Tengah, Aman Abdurrahman juga memberi perintah kepada pengikutnya agar melakukan aksi teror bom Thamrin. Dia menyatakan waktunya melakukan amaliyah pada Desember 2015.
Perintah disampaikan kepada sejumlah anggota kelompok itu yang menemui Aman di penjara, antara lain ian Juni Kurniadi, Sunakim alias Afif, Muhammad Ali, dan Ahmad Muhazan. Sebelum ke Nusakambangan, mereka berkumpul di sebuah pesantren di Ciamis, Jawa Barat.
Abu Gar, salah satu murid Aman, menguatkan cerita itu saat bersaksi dalam sidang pada 6 Maret 2018. Pria kelahiran Cilacap, 24 April 1973, tersebut mengatakan dia menjadi penghubung ke salah satu pelaku pengeboman, Muhammad Ali.
Abu Gar melakukan itu atas permintaan Aman pada saat berkunjung ke Nusakambangan pada 2015. "Setelah itu, saya tidak pernah tahu di mana pengeboman dilakukan," ucap Abu Gar.
Pada saat menghuni Rutan Salemba di mako Brimob Kelapa Dua, lulusan Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab di Jakarta ini sangat disegani pengikutnya di penjara.
Dalam rekaman yang beredar, para pengikutnya sempat bernegosiasi dengan polisi dan menuntut dipertemukan dengan Aman. Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Kepolisian RI Inspektur Jenderal Setyo Wasisto membenarkan soal ini. "Ya biasa, itu kan pimpinannya," katanya.
Pada persidangan April 2018 Aman Abdurrahman menyangkal sebagai pemimpin JAD sekaligus memerintahkan sejulah serangan. "Saya tak pernah meminta mereka melakukan itu," ujarnya.
Dia pun menyatakan keberatan terhadap tuntutan hukuman mati. Aman Abdurrahman berencana mengajukan pleidoi pribadi selain pembelaan dari pengacaranya, Asludin Hatjani, pada sidang berikutnya pada Jumat, 25 Mei 2018.
"Ya, saya (akan) mengajukan (pleidoi), masing-masing," katanya kepada Ketua Majelis Hakim Akhmad Jaini.
Masuk ke ruang sidang pada Jumat pagi lalu, pandangan Aman menyapu ruangan. Sesekali dia menoleh ke arah hakim, jaksa, lalu personel Brigade Mobile (Brimob) Polri bersenjata yang berdiri di dalam ruang sidang.
Lima personel Brimob menjaga Aman Abdurrahman sejak turun dari mobil tahanan.
Dalam persidangan Aman terlihat duduk tak tenang. Seperti gelisah pada saat berhadapan dengan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Kadang pria berperawakan kurus itu bertopang dagu, kadang menyilangkan kaki. Kemudian tiba-tiba dia duduk tegak, bangkit dari sandaran kursi.


sumber : tempo.com

No comments: