Beberapa pekan terakhir nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) mengalami tekanan cukup dalam. Rupiah betah di level Rp14.000 per dolar AS. Pada Jumat (18/5), kurs tengah rupiah atau Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) yang tercatat di Bank Indonesia, kurs rupiah menembus level Rp14.107 per dolar AS.
Pada Rabu (16/5), nilai tukar rupiah referensi JISDOR juga sudah menunjukkan posisi Rp14.094 per dolar AS. Di pasar spot, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terus melemah dan ditutup menembus level Rp14.150 per dolar AS.
Melansir Bloomberg, nilai tukar rupiah pada perdagangan Jumat (18/5) ditutup di posisi Rp14.156 per dolar AS. Data Bloomberg mencatat, selama berjalannya tahun 2018, rupiah telah melemah sebesar 4,75 persen dibanding perdagangan awal Januari di level Rp13.514 per dolar AS.
Ini menjadikan kinerja rupiah menjadi salah satu yang paling parah di antara mata uang negara-negara ASEAN. Mata uang Garuda hanya lebih unggul dibanding Peso Filipina, yang sepanjang tahun 2018 telah terdepresiasi sedalam 4,98 persen. Selama triwulan 1-2018, pelemahan nilai tukar rupiah secara rata-rata harian tercatat sebesar 1,13 persen menjadi Rp13.760 per dolar AS.
Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo menyebutkan bahwa tekanan terhadap nilai tukar rupiah itu dipengaruhi faktor internal dan eksternal. Salah satu faktor eksternal adalah kebijakan moneter Amerika Serikat (AS). Rencana Bank Sentral AS menaikkan suku bunga hingga empat kali tahun ini juga jadi sentimen yang kuat terhadap pelemahan rupiah.
“Kalau internal, yang jadi perhatian ialah terkait neraca perdagangan yang defisit $1,6 miliar,” kata Agus di Jakarta, Jumat (18/5/2018).
Defisit neraca perdagangan memang menjadi momok fundamental perekonomian Indonesia yang terus berulang. Artinya tak ada keseimbangan antara barang yang diimpor dan diekspor. Pada April 2018 impor tercatat $16,09 miliar atau naik 11,28 persen dibandingkan bulan sebelumnya. Nilai ekspor Indonesia pada April 2018 mencapai $14,47 miliar. Secara kumulatif periode Januari-April 2018, neraca perdagangan mengalami defisit 1,31 miliar dolar AS.
Selain bermasalah dengan neraca perdagangan barang, Indonesia juga memiliki masalah menahun pada defisit neraca jasa. Per triwulan I-2018, neraca jasa defisit sebesar $1,42 miliar, angka impor jasa mencapai $8,34 miliar sementara ekspor hanya sebesar $6,92 miliar. Defisit ini melebar dibanding periode yang sama tahun 2017 yang sebesar $1,23 miliar.
Pendapatan primer per kuartal I-2018 mengalami defisit mencapai $7,89 miliar, atau pembayaran jauh melebihi penerimaan. Angka pembayaran sebesar $9,62 miliar, sedangkan penerimaan hanya sebesar $1,73 miliar. Defisit pendapatan primer ini secara tahunan juga melebar, dibanding periode yang sama tahun 2017 lalu yang sebesar $7,71 miliar.
Konsekuensinya, neraca transaksi berjalan sering mencatatkan defisit. Transaksi berjalan Indonesia mengalami defisit mencapai $5,5 miliar pada kuartal I-2018 atau setara dengan 2,15 persen dari produk domestik bruto (PDB).
Defisit transaksi berjalan kuartal I-2018 juga naik lebih dari dua kali lipat dibanding periode yang sama tahun 2017 yang sebesar $2,4 miliar. Jika menilik rentang waktu yang lebih panjang, transaksi berjalan periode tiga bulan pertama tahun ini, merupakan yang terparah sejak kuartal I-2013 yang senilai $5,3 miliar. Indonesia terus mengalami defisit transaksi berjalan sejak triwulan IV-2011.
Transaksi berjalan yang memperlihatkan defisit semakin melebar, merupakan pertanda bahwa fundamental nilai tukar mata uang negara tersebut juga melemah. Sebab, transaksi berjalan menggambarkan penerimaan devisa dari kinerja ekspor dan impor sektor barang maupun jasa, yang berimplikasi pada kebutuhan terhadap mata uang dolar AS. Keduanya punya keterkaitan secara historis.
Pada kuartal I-2018, defisit transaksi berjalan menembus angka 2,15 persen dari PDB atau setara $5,54 miliar. Pada saat yang sama, rata-rata nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sepanjang tiga bulan pertama 2018 rata-rata Rp13.760 per dolar AS. Sebagai pembanding, nilai tukar rupiah lebih lemah ketimbang rata-rata nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pada periode yang sama tahun 2017 di level Rp13.348 per dolar AS. Pada tiga bulan pertama 2017, defisit transaksi berjalan hanya sebesar 1 persen dari PDB atau setara Rp2,4 miliar.
Pada kuartal IV-2017 saat transaksi berjalan mengalami defisit 2,3 persen dari PDB atau setara Rp5,76 miliar, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS rata-rata di periode tersebut mencapai Rp13.537 per dolar AS. Posisi rupiah lebih rendah dibanding periode yang sama tahun 2016 di mana nilai tukar rupiah berada pada posisi Rp13.247 per dolar AS, saat bersamaan defisit transaksi berjalan Indonesia hanya sebesar 0,7 persen dari PDB atau setara $1,81 miliar.
Potensi pelebaran defisit transaksi berjalan tahun ini menurut Josua Pardede, Ekonom Bank Permata, didorong oleh tren pertumbuhan laju impor yang lebih tinggi dibanding laju ekspor seiring perbaikan ekonomi domestik serta penyelesaian proyek-proyek infrastruktur. Selain itu juga, faktor eksternal yaitu normalisasi kebijakan moneter AS memicu keluarnya dana asing dari pasar keuangan negara-negara berkembang.
“Sehingga nilai tukar mata uang di negara-negara yang notabene-nya adalah net oil importer seperti Indonesia, India dan juga Filipina, cenderung akan lebih berfluktuasi dibandingkan mata uang negara-negara yang memiliki surplus transaksi berjalan di tengah tren kenaikan harga minyak dunia,” jelas Josua kepada Tirto.
Melebarnya defisit transaksi berjalan ini juga memengaruhi surplus transaksi finansial, mengingat persepsi investor di pasar modal. Jika terdapat sentimen negatif dari global, maka defisit transaksi berjalan yang melebar akan berpengaruh terhadap penurunan surplus transaksi finansial. Sehingga, akan berpengaruh pada penurunan surplus neraca pembayaran.
“Ketika defisit transaksi berjalan melebar dan tidak dapat dibiayai oleh surplus transaksi finansial, maka neraca pembayaran pun akan mengalami defisit, sehingga akan memengaruhi nilai tukar rupiah,” imbuh Josua.
Jurus Menekan Defisit Transaksi Berjalan
Menyikapi transaksi berjalan yang mengalami defisit selama 26 kuartal ini, pemerintah melakukan berbagai cara. Salah satunya adalah dengan memberdayakan penggunaan rupiah dalam transaksi bisnis sehari-hari. Indonesia sudah memiliki aturan mengenai kewajiban menggunakan mata uang denominasi rupiah untuk transaksi yang dilakukan di dalam negeri, melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang.
Sempat ada ketentuan kewajiban transaksi menggunakan mata uang asing khususnya dolar AS masih berlangsung di Pelabuhan Tanjung Priok pada medio 2014. Denominasi dolar AS digunakan untuk pembayaran Container Handling Charge (CHC) dan Terminal Handling Charge (THC). Selain itu, ada ketentuan penggunaan mata uang asing juga terjadi di berbagai pelabuhan di daerah, salah satunya di Batam yang melakukan transaksi dengan denominasi dolar Singapura.
Chairul Tanjung yang saat itu menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Perekonomian meminta transaksi keuangan di kawasan pelabuhan untuk menggunakan mata uang rupiah, sesuai dengan penerapan UU Nomor 7 Tahun 2011. Menurutnya, kewajiban menggunakan mata uang rupiah dalam setiap transaksi diharapkan dapat mengurangi permintaan dolar AS di dalam negeri, sehingga tekanan terhadap pelemahan nilai tukar rupiah bisa berkurang.
“Harapannya, nilai tukar rupiah bisa stabil,” ucap Chairul Tanjung seperti dilansir Rappler.
Ketentuan wajib menggunakan rupiah di lingkungan kerja pelabuhan dan pelayaran semakin dipertegas oleh Peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Laut (Perdirjen Hubla) No. : HK. 103/2/13/DJPL-14 Tanggal 26 Agustus 2014 Tentang Penggunaan Mata Uang Mata Uang Rupiah Dalam Melakukan Transaksi pada kegiatan Transportasi Laut.
Pasal 2 Perdirjen menyebutkan, dalam melakukan transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran atau penyelesaian kewajiban kegiatan dibidang transportasi laut meliputi jasa-jasa kepelabuhanan, kenavigasian, angkutan laut, pemeriksaan kapal, transportasi laut lainnya wajib menggunakan mata uang rupiah.
Undang-undang ini kemudian dipertegas dengan peraturan turunan berupa Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 17/3/PBI/2015 Tentang Kewajiban Penggunaan rupiah di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). BI juga merilis Surat Edaran BI (SEBI) Nomor 17/11/DKSP tertanggal 1 Juni 2015, tentang Kewajiban Penggunaan Rupiah di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Aturan yang berlaku mulai 1 Juni 2015 ini mewajibkan setiap transaksi kegiatan di dalam negeri baik secara tunai maupun non tunai, untuk menggunakan rupiah. Ketentuan umum aturan tersebut menyatakan kewajiban penggunaan rupiah menganut azas teritorial, selama ada di wilayah NKRI wajib menggunakan rupiah.
Transaksi dan pembayaran, wajib menggunakan rupiah. Pengaturan tersebut juga berlaku bagi para pekerja asing yang ada di Indonesia. Gaji para pekerja asing ini termasuk transaksinya wajib dibayar menggunakan rupiah.
Selama pekerja asing memiliki kontrak di dalam negeri, gaji dan transaksinya harus menggunakan rupiah. Transaksi valuta asing (valas) seperti dolar AS bisa dilakukan ekspatriat jika kontrak kerjanya dilakukan di luar negeri.
Selain ekspatriat, kewajiban transaksi menggunakan rupiah juga berlaku bagi perusahaan properti dan operator pelabuhan. Sebagai contoh, Pelindo sebagai operator pelabuhan juga harus melakukan transaksi dalam rupiah termasuk dalam jasa bongkar muat.
Upaya-upaya di atas bertujuan untuk mengurangi kebutuhan dolar, tapi tak semudah itu, karena transaksi penggunaan dolar yang cukup besar antara lain disumbang dari sektor migas, seperti impor BBM dan minyak. Selain pemerintah, bank sentral juga melakukan langkah strategis seperti merangkul negara tetangga untuk mengurangi ketergantungan pada dolar.
Akhir Desember tahun lalu, tiga gubernur bank sentral, antara lain Bank Indonesia (BI), Bank Negara Malaysia (BNM), dan Bank of Thailand (BOT) meluncurkan local currency settlement (LCS) framework terhadap rupiah-ringgit, rupiah-baht, dan perluasan baht-ringgit di Jakarta. Kesepakatan ketiga bank sentral ini mulai efektif pada 2 Januari 2018, yang digagas sejak setahun lalu untuk mengurangi penggunaan dolar pada perdagangan ketiga negara.
Nilai tukar memang tak terpisahkan dari faktor eksternal dan internal, tapi dengan membenahi faktor internal, setidaknya setengah persoalan sudah bisa diatasi. Persoalan defisit transaksi berjalan ini persoalan yang kompleks, butuh upaya serius dan konkret. Tekanan dolar pada rupiah saat ini menunjukkan penyakit menahun itu belum sembuh.
Efek mengerikan tentang efek defisit transaksi berjalan yang tinggi perlu diwaspadai karena dapat menjadi penyebab currency crisis. Sebastian Edward dalam jurnal yang ditulisnya berjudul ”Does Current Account Matter?” (PDF) mengatakan dalam penelitiannya yang melibatkan 120 negara selama 25 tahun menyimpulkan bahwa defisit transaksi berjalan dapat berpotensi mengganggu perekonomian.
Dampak negatif (PDF) dapat berupa turunnya pertumbuhan ekonomi per kapita. Selain itu defisit transaksi berjalan juga meningkatkan probabilitas terjadinya krisis. Meskipun hal ini tidak harus diartikan bahwa setiap defisit akan mengakibatkan krisis, atau setiap krisis selalu disebabkan oleh defisit transaksi berjalan.
Jurnal lainnya yang ditulis oleh Gian Maria Milesi-Ferretti dan Assaf Razin berjudul “Current–Account Sustainability” International Finance Section (PDF), juga menjelaskan bahwa negara-negara yang memiliki defisit transaksi berjalan yang persisten dapat mengakibatkan ketidakmampuan untuk membayar utang dan terjadinya krisis, misalnya di Chili pada 1977–1982 dan Meksiko 1977–1982 dan 1991–1995.
sumber : tirto.com
No comments:
Post a Comment