Sudarwati namanya. Ibu berusia 54 tahun ini sejak tahun 2011 lalu harus merawat kedua anaknya Priyo Suprapto (28) dan Muhammad Baharudin Yusuf (25) yang mengalami kelumpuhan seorang diri.
Suaminya sudah meninggal, sehari-hari Sudarwati hanya menjual risoles di Jalan Sariwates II, Gang Rengganis No 1, RT 2 RW 14, Kelurahan Antapani Kidul, Kecamatan Antapani, Kota Bandung. Meski begitu, ia tetap semangat mengarungi kehidupan meski dikarunia dua orang anak yang mengalami kelumpuhan sejak bayi.
Priyo dan Yusuf awalnya lahir dalam kondisi normal. Namun berjalannya waktu kedua bayi itu tidak mengalami perkembangan. Bahkan saat bayi seusianya sudah mulai berjalan anak Sudarwati masih kesulitan untuk merangkak.
"Sempat ke dokter anak waktu itu. Dibilangnya pertumbuhan Priyo ini hanya lambat saja. Begitu juga yang kedua (Yusuf) dibilang dokter lambat juga, bukan polio," kata Sudarwati, Rabu (23/5/2018).
Sebagai orang tua, Sudarwati dan suaminya saat itu terus berusaha untuk kesembuhan anaknya yang tidak ada perkembangan. Bahkan Yusuf sempat dibawa oleh sang nenek ke kampung halamannya di Malang untuk dicarikan pengobatan alternatif. Namun hal itu juga tidak membuahkan hasil.
Berjalannya waktu Sudarwati pun menerima kondisi anaknya seperti itu. Tidak pernah ada kata lelah baginya dan sang suami untuk mengurus keduanya. Bahkan diusia kedua anak yang beranjak dewasa, Sudarwati tetap semangat menyuapi makanan bahkan memandikannya.
Sebenarnya secara fisik Priyo dan Yusuf tidak berbeda dengan orang normal lainnya. Hanya saja keduanya mengalami kelumpuhan dan hanya bisa berpindah tempat dengan cara merangkak. Sehingga untuk beraktivitas sehari-hari keduanya harus dibantu oleh sang ibu.
"Jadi sebenarnya makan sendiri bisa, tapi udahnya mereka suka bilan 'ibu ini berantakan' jadi saya beresin kadang disuapin juga. Ke kamar mandi juga sebenarnya bisa, hanya saja saya enggak tega takut kepeleset atau lain-lain," katanya.
Meski mengalami kelumpuhan keduanya sempat menempuh pendidikan di SLM daerah Cimahi. Namun hal itu terhenti sejak awal tahun 2018 ini karena berbagai keterbatasan.
"Pas bapaknya masih ada sempat sekolah SLB di Cimahi. Waktu itu antar jemput sama bapaknya, dikasih pinjam mobil tetangga. Dari situ mulai kenal sama temannya yang lain, ke sekolah dan pulang bareng. Tapi kita kasih buat bensin," ujarnya.
Namun sepeninggalan sang suami Sudarwati harus memutar otak agar dapur tetap ngebul dan anaknya tidak putus sekolah. Alhasil dengan modal seadanya dan skill saat bekerja di toko kue, Sudarwati mulai merintis usaha pembuatan risoles dan aneka jajanan pasar.
Sayang, tahun 2018 awal ini kedua anaknya tidak lagi bersekolah. Sebab biaya 'bensin' harus dipangkas untuk kebutuhan sehari-hari. "Saya kan sekarang kadang sudah cape, enggak kaya dulu lagi. Jadi sekarang paling bisa buat 300 risoles," ucapnya.
Selama detikcom berada di rumahnya tidak ada raut sedih sedikit pun dari sosok Sudarwati dihadapan kedua anaknya. Namun saat berbincang di luar rumah air mata mulai menetes dari sosok yang semula tegar di dalam rumah.
"Saya kalau dihadapan anak-anak harus terlihat semangat, kalau enggak kasihan mereka. Saya takut mereka kepikiran juga. Bagi saya, di sisa akhir umur saya akan tetap semangat untuk mengurusi anak-anak," ujar Sudarwati sembari menyeka air mata yang mulai menetes.
Sebagai orang tua Sudarwati masih menaruh harapan untuk kesembuhan kedua anaknya itu. Namun apa daya, keterbatasan biaya membuat Sudarwati tidak bisa memeriksakan anaknya ke dokter dan menyekolahkannya.
Tak jauh berbeda dengan sang ibu, Yusuf si anak bungsu juga tidak sedikti pun memperlihatkan wajah murung. Selama detikcom berada di rumahnya, ia terlihat riang dan menjawab sejumlah pertanyaan meski dengan suara yang kurang jelas dan terbata-bata.
Seperti halnya saat ditanya mengenai harapan. Meski mengetahui punya keterbatasan, Yusuf tetap ingin kuliah di Universitas Brawijaya (Unbra) yang merupakan kampung halaman ibu dan neneknya.
"Saya ingin sekolah lagi, rame banyak temen. Biar pinter. Nanti mau kuliah di Unbra, terus kerja," ucap Yusuf yang turut menjalankan ibadah puasa di Bulan Ramadan ini.
Terpisah, Seksi Sosial RW 14 Purwanto (59) mengatakan sejak awal telah mengusulkan pada warga yang mayoritas berada untuk mengumpulkan iuran wajib Rp 5 ribu perbulan. Iuaran tersebut nantinya khusus untuk membantu warga yang kurang mampu, sakit atau terkena musibah.
"Itu hanya berjalan beberapa bulan saja, setelahnya tidak ada. Sekarang paling keluarga ini (Sudarwati) dibantu oleh kita-kita yang peduli secara pribadi saja," katanya.
Disinggung soal bantuan dari Pemkot Bandung melalui sejumlah program yang ada, Purwanto mengaku belum begitu paham dan tidak ada akses lebih lanjut terkait hal itu. Sehingga selama ini ia dan warga secara pribadi memberikan bantuan langsung pada keluarga tersebut.
"Kalau harapan saya tentu minimal ada bantuan minimal anak-anak ini bisa sekolah lagi. Pertama karena kemauan mereka, dan kedua secara psikologis kasihan juga kalau sehari-hari harus di rumah," ujarnya.
Saat ini Sudarwati dan kedua anaknya tinggal di sebuah rumah dengan luas 3x6 meter. Sebenarnya rumah miliknya cukup besar, namun karena kekurangan biaya sehari-hari ia terpaksa mengontrakan sebagian demi tambahan uang.
Di dalam rumah tersebut ketiganya tinggal dalam satu kamar dengan alas tiga kasur busa dan tv untuk hiburan. Sementara di sisi lain terdapat kamar mandi dan dapur tempat Sudarwati mengolah risoles untuk dijualnya ke Pasar Kiaracondong.
No comments:
Post a Comment